“Hasrat tak sadar selalu aktif dan selalu
siap muncul.” Menurut Freud, dalam buku psikologi sastra Albertine
Minderop.
“Menulis
adalah memanggil.” Ketika kita lari dari kenyataan tentang adanya suatu
kebetulan tidakkah Tuhan mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang
kebetulan, Ketika saya merasa menulis seperti memanggil, memanggil tokoh yang
mempunyai warna dalam cerita Nizami Fanjavi tulis Laila Majnun. Sulit dimengerti ketika ide itu terlahir dari tangan
seorang Nizami, tak seperti mengupas cerita yang pernah saya tulis yaitu Anomali Kingdom, tapi bukan Anomali Kingdom yang akan saya kupas.
Berkaitan dengan membaca kisah Laila
Majnun sebuah cerita yang menyangkut kejiwaan tokoh tentunya suatu hal yang
sukar dipahami, barangkali sudah tak asing lagi dengan kisah Laila Majnun dari negeri Timur dan Romeo
Juliet dari negeri Barat. Mengupas
persamaan cerita antara Laila dan Juliet adalah cerita yang tak bisa dipaparkan
dalam artikel ringan dan praktis ini, dari Juliet terkenal dengan pasangannya
Romeo dengan perjalanan kisah cinta mereka, sedang Laila terkenal dengan
pasangannya juga yaitu Majnun sang budak cinta.
Berawal
dari sebuah perjalananku ketika hendak datang ke sebuah toko buku, “Cinta Abadi Laila Majnun” sebuah novel
islami yang hadir beberapa tahun silam yang lalu. Pada esensinya Laila Majnun berceritakan tentang kisah
kejiwaan cinta antara Laila dan Majnun sehingga keduanya menjadi tokoh
perhatian masyarakat islam, khususnya pada masa itu. Bahkan cerita itu sudah
menjadi maha karya sastra besar dunia yang hingga sekarang masih menjadi pusat
perhatian kalangan sastrawan serta pemerhati sastra. Terkait cerita Laila Majnun, ada suatu yang menarik
dari Novel tersebut yaitu ketika Majnun tak mampu berhenti untuk terus
mencintai Laila hinga ia gila dan dikucilkan; hingga ia tinggal di gua dan binatang
adalah satu-satunya teman. Sebegitukah cinta hingga membuat gila, sebegitukah
sehingga mata hati, telinga sudah terlanjur tertutup. Teringat, suatu kisah
ketika ada seorang teman yang tulus membantu Majnun untuk mendapatkan cinta Laila
kemudian sedikit demi sedikit Majnun kembali menjadi manusia yang nomal,
manusia yang tanpa dibutakan oleh cinta. Hingga suatu ketika laila menikah dengan seorang laki-laki yang
dicintainya—meninggal dan akhirnya mereka menyatu di atas pusara, tempat
peristirahatan cinta terakhir mereka.
Membaca
Majnun membukakan kita pada suatu hal yang benar-benar naif untuk kita
telusuri, ia benar-benar menjadi budak cinta.
Budak Laila hingga ia gila.
Dari
membaca maka akan terkuak alam
semesta begitu luas. Alam yang menyuguhkan segala isinya yang luar biasa;
alam watak manusia, ataupun tokoh dalam cerita. Mulai dari lautan, yang
katanya, lebih dari duapertiga bumi ini. Laut yang luas dan dalam memiliki isi
yang tak cukup dengan selembar kertas untuk mendaftar biota yang terdapat di
dalamnya. Begitu juga daratan, yang berbukit-bukit, dengan aliran-aliran sungai
yang mengalirkan arusnya, ke laut juga. Bayangkan jika kita mampu memahami bumi
dengan segala isinya, namun apalah daya kita manusia yang hanya memiliki kemampuan
sebatas kita ingin mengetahui. Berdasarkan
hal yang telah dipaparkan penulis mengupas singkat Majnun dengan kajian aspek
psikologi tokoh dengan pendekatan tekstual. Sebelum lebih dekat dengan Majnun,
alangkah lebih baiknya kita mengenal sebuh kajian psikoanalisis yang akan
menjadi pisau bedah dalam tulisan ini.
Asal
Usul Psikoanalisa (Freud)
Psikoanalisa adalah
wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh
Sigmund Freud (Milner, 1992:43), seorang dokter muda dari Wina. Ia mengenukakan
gagasan bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental
sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran ini
dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang. Ketika pengarang menciptakan
tokoh, kadang ‘bermimpi” seperti halnya realitas. Semakin jauh lagi, pengarang
juga sering “gila”, sehingga yang diekspresikan seakan-akan lahir bukan dari
kesadarannya. Freud yang seorang nerolog, membangun gagasannya tentang teori
psikologi berdasarkan pengalamannya menghadapi para pasien yang mengalami
problem mental (Eagleton, 1996:43).
Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis,
akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks
berupa drama maupun prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan tampil
melalui larik-larik dan pilihan kata yang khas. Di samping ada puisi lirik atau
prosais dan atau ada balada tokoh tertentu. Berarti ada benarnya bila Jatman
(1985:165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiki pertautan
yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena
baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia.
Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena sama-sama mempelajari
keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi keadaannya riil, sedangkan
dalam sastra bersifat imajinatif.
Dalam kajian psikologi
sastra, akan berusaha mengungkapkan psikoanalisa kepribadian yang dipandang
meliputi tiga unsur sama kejiwaan, yaitu: id,
ego, dan super ego. Ketiga sistem
kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah
laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id (das es) adalah sistem kepribadian
manusia yang paling dasar. Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan acuan penting untuk
memahami mengapa seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui Id pula sastrawan mampu menciptakan
simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel
psikologis misalnya ternyata merupakan telah menerima perkembangan watak untuk
kepentingan struktur plot.
Id adalah aspek
kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan
nafsu-nafsu yang tak kenal nilai dan agaknya berupa “energi buta”. Dalam
perkembangan tumbuhlah ego yang prilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan.
Sementara super ego berkembangan
mengontrol dorongan-dorongan “buta” Id tersebut. Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem
kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia obyek dari
kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah kpribadian yang
implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar. Adapun super ego (das ueber ich) adalah sistem
kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif
(menyangkut baik buruk).
Dari uraian demikian,
dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dengan psikoanalisa. Hubungan
tersebut, menurut Milner (1992:32) ada dua hal, pertama ada kesamaan antara
hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran
karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra itu
memberikan jalan keluar terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada
kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan elaborasi
karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan
mimpi”. Baginya, mimpi seperti tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada
sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang
bermimpi adalah seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.
Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
Tingkah
laku menurut Freud, merupakan hasil konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem
kepribadian tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian adalah faktor
historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan
faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu. Selanjutnya, Freud
membahas pembagian pskisme manusia: id (terletak di bagian taksadar) yang
merupakan reservoir pulsi dan menjadi sumber energi psikis. Ego (terletak di antara alam sadar dan taksadar) yang bertugas
sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan superego. Superego (terletak sebagian di bagian
sadar dan sebagian lagi di bagian taksadar) bertugas mengawas dan menghalangi
pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan
identifikasi pada orang tua. Berdasarkan hal di atas penulis mengkaji atas kejiwaan
pada tokoh Majnun dalam novel Cinta Abadi Laila Majnun.
Psikoanalisa
Majnun
Qais merupakan tokoh sentral
dalam novel Cinta Abadi
Laila Majnun. Qais di
gambarkan sebagai tokoh protagonis, yaitu seorang anak yang cerdas,
tekun, dan juga ringan tangan. Berikut kutipannya.
“Qais adalah seorang siswa yang
tekun dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Hanya dalam waktu yang
singkat, ia telah mengalahkan teman-teman sekelasnya dalam semua bidang
pelajaran. Ia merupakan siswa terbaik yang pernah diajar oleh sang guru. Qais
sangat unggul dalam hal membaca dan menulis”. (Cinta Abadi Layla Majnun,
2012:6).
Qais juga digambarkan
sebagai sosok yang rela berkorban dan memperjuangkan cintanya. Dalam
cerita, pada saat Laila di pingit, Qais rela pergi dari rumah untuk
mencari pengobat hatinya dan berubah menjadi ‘gila’ alias Majnun. Psikologisnya
terguncang, pengarang menghadirkan alam bawah sadar Majnun sehingga ia melakukan
hal-hal yang diluar kendalinya. Berikut
kutipannya,
(1)
“Tempurung kewarasan Qais telah
retak dan nyaris pecah, menympahkan jiwanya yang gundah. Kendati demikian, ia
telah bersikap pasrah, terbuka: emosi dan perasaannya yang terdalam telah
nampak akan membuncah. Tidak hanya kehilangan Laila, ia juga kehilangan jati
dirinya, kepedihan hatinya terpahat diraut wajahnya; berpijar bak nyala api
yang membara, sehingga semua orang dapat melihatnya dengan nyata. Qais adalah
luka yang berjalan dan berbicara. Qais adalah orang yang hilang, seakan
dilupakan siapa saja. Qais telah dimusuhi takdir yang diterapkan atas
dirinya”. (Cinta Abadi Layla majnun, 2012:16).
(2)
“Memang
Qais telah menjadi “Majnun” alias gila! Namun, ia sangat mahir dalam merangkai
syair, mengubah kidung cinta. Seiring keterpisahannya dengan Laila –sebuah
perpisahan yang membuatnya menjadi budak Laila- hatinya tergerak untuk memintal
dan menenun benang syair-syair cinta, dan sajak-sajak indah untuk menguji
kecantikan Laila, untaian syair yang sebelumnya belum pernah didengar oleh
telinga manusia”. (Cinta Abadi Laila Majnun, 2012:16-17).
Berbicara
tentang Majnun, sampai kapan pun saya (penulis) yakin tidak akan terlepas dari
perkembangan zaman, dan pastinya tidak akan pernah terlepas dari perkembangan sastra
itu sendiri. Cobalah tengok perkembangan psikologi setiap penulis dalam
karyanya, atau pula tokoh dalam karyanya, mulai saja dari zaman Laila Majnun
hingga Romeo Juliet sampai Cleopatra. Baca pula bagaimana suasana yang
dihadirkan dalam novel tersebut karena disini penulis hanya sedikit membuka
bayangan unutk membaca agar masuk kedalam gerbang karya-karya Timur dan Barat
tersebut. Kedua penulis yang berbeda tanah ini tertunya memiliki gaya
tersendiri dalam menciptakan karyanya sehingga terciptanya tokoh yang menjadi
orator dalam cinta setiap karya. Jadi penu lis dan menulis tidak hanya butuh
kata dalam mencipta karya. Melainkan setiap jiwa penulis juga membutuhkan
pemahaman alam sekitar, sehingga terjadi sinergisitas antara bahasa yang
dikuasai dan fenomena yang berkembang di bumi ini. Selain dari itu ada yang
lebih penting lagi, yaitu dengan cara apa kita menghimpun jiwa beberapa tokoh dari menulis?
Freud
sebagai tokoh psikoanalisa tidak memberikan penjelasan pada teori psikoanalisisnya
karena penjelasan dari Freud selalu berubah-ubah. Tahun 1923, dalam sebuah
jurnal di Jerman, dia menjelaskan dari pengertian psikoanalisis. Pertama
digunakan untuk sebuah metode penelitian terhadap proses psikis yang tidak
terjangkau secara ilmiah. Kedua psikoanalisiS juga digunakan sebagai suatu
metode untuk menyembuhkan gangguan-gangguan psikis yang diakibatkan oleh pasien
neurosis.
Dengan
membaca Laila Majnun ini maka
terbukalah ide untuk juga menciptakan Majnun-majnun yang lebih fenomenal. Membuka alam-alam kejiwaan yang lebih
supranatural.
DAFTAR
BACAAN
Fanzavi,
Nizami. 2012. “Cinta Abadi Laila Majnun”.
Bandung: PT Ikhlas Media.
Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Susanto, Dwi. 2011. Pengantar Teori Sasta. Yogyakarta: CAPS.
Wellek, Rene. Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan.
Jakarta: PT Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar