27 April, 2019

PSIKOANALISIS TOKOH MAJNUN.



Oleh: Siti Halimah
PSIKOANALISIS TOKOH MAJNUN.


Hasrat tak sadar selalu aktif dan selalu siap muncul.” Menurut Freud, dalam buku psikologi sastra Albertine Minderop.
“Menulis adalah memanggil.” Ketika kita lari dari kenyataan tentang adanya suatu kebetulan tidakkah Tuhan mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan, Ketika saya merasa menulis seperti memanggil, memanggil tokoh yang mempunyai warna dalam cerita Nizami Fanjavi tulis Laila Majnun. Sulit dimengerti ketika ide itu terlahir dari tangan seorang Nizami, tak seperti mengupas cerita yang pernah saya tulis yaitu Anomali Kingdom, tapi bukan Anomali Kingdom yang akan saya kupas. Berkaitan dengan membaca kisah Laila Majnun sebuah cerita yang menyangkut kejiwaan tokoh tentunya suatu hal yang sukar dipahami, barangkali sudah tak asing lagi dengan kisah Laila Majnun dari negeri Timur dan Romeo Juliet dari negeri Barat.  Mengupas persamaan cerita antara Laila dan Juliet adalah cerita yang tak bisa dipaparkan dalam artikel ringan dan praktis ini, dari Juliet terkenal dengan pasangannya Romeo dengan perjalanan kisah cinta mereka, sedang Laila terkenal dengan pasangannya juga yaitu Majnun sang budak cinta.
Berawal dari sebuah perjalananku ketika hendak datang ke sebuah toko buku, “Cinta Abadi Laila Majnun” sebuah novel islami yang hadir beberapa tahun silam yang lalu. Pada esensinya Laila Majnun berceritakan tentang kisah kejiwaan cinta antara Laila dan Majnun sehingga keduanya menjadi tokoh perhatian masyarakat islam, khususnya pada masa itu. Bahkan cerita itu sudah menjadi maha karya sastra besar dunia yang hingga sekarang masih menjadi pusat perhatian kalangan sastrawan serta pemerhati sastra. Terkait cerita Laila Majnun, ada suatu yang menarik dari Novel tersebut yaitu ketika Majnun tak mampu berhenti untuk terus mencintai Laila hinga ia gila dan dikucilkan; hingga ia tinggal di gua dan binatang adalah satu-satunya teman. Sebegitukah cinta hingga membuat gila, sebegitukah sehingga mata hati, telinga sudah terlanjur tertutup. Teringat, suatu kisah ketika ada seorang teman yang tulus membantu Majnun untuk mendapatkan cinta Laila kemudian sedikit demi sedikit Majnun kembali menjadi manusia yang nomal, manusia yang tanpa dibutakan oleh cinta. Hingga suatu ketika  laila menikah dengan seorang laki-laki yang dicintainya—meninggal dan akhirnya mereka menyatu di atas pusara, tempat peristirahatan cinta terakhir mereka.    
Membaca Majnun membukakan kita pada suatu hal yang benar-benar naif untuk kita telusuri, ia benar-benar menjadi budak cinta.  Budak Laila hingga ia gila.
Dari membaca maka akan terkuak alam semesta begitu luas. Alam yang  menyuguhkan segala isinya yang luar biasa; alam watak manusia, ataupun tokoh dalam cerita. Mulai dari lautan, yang katanya, lebih dari duapertiga bumi ini. Laut yang luas dan dalam memiliki isi yang tak cukup dengan selembar kertas untuk mendaftar biota yang terdapat di dalamnya. Begitu juga daratan, yang berbukit-bukit, dengan aliran-aliran sungai yang mengalirkan arusnya, ke laut juga. Bayangkan jika kita mampu memahami bumi dengan segala isinya, namun apalah daya kita manusia yang hanya memiliki kemampuan sebatas kita ingin mengetahui.  Berdasarkan hal yang telah dipaparkan penulis mengupas singkat Majnun dengan kajian aspek psikologi tokoh dengan pendekatan tekstual. Sebelum lebih dekat dengan Majnun, alangkah lebih baiknya kita mengenal sebuh kajian psikoanalisis yang akan menjadi pisau bedah dalam tulisan ini.
Asal Usul Psikoanalisa (Freud)       
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner, 1992:43), seorang dokter muda dari Wina. Ia mengenukakan gagasan bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran ini dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang. Ketika pengarang menciptakan tokoh, kadang ‘bermimpi” seperti halnya realitas. Semakin jauh lagi, pengarang juga sering “gila”, sehingga yang diekspresikan seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya. Freud yang seorang nerolog, membangun gagasannya tentang teori psikologi berdasarkan pengalamannya menghadapi para pasien yang mengalami problem mental (Eagleton, 1996:43).
            Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan tampil melalui larik-larik dan pilihan kata yang khas. Di samping ada puisi lirik atau prosais dan atau ada balada tokoh tertentu. Berarti ada benarnya bila Jatman (1985:165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi keadaannya riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkapkan psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur sama kejiwaan, yaitu: id, ego, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan acuan penting untuk memahami mengapa seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui Id pula sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel psikologis misalnya ternyata merupakan telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot.
Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tak kenal nilai dan agaknya berupa “energi buta”. Dalam perkembangan tumbuhlah ego yang prilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan. Sementara super ego berkembangan mengontrol dorongan-dorongan “buta” Id tersebut. Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia obyek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah kpribadian yang implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar. Adapun super ego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk).
Dari uraian demikian, dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dengan psikoanalisa. Hubungan tersebut, menurut Milner (1992:32) ada dua hal, pertama ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi”. Baginya, mimpi seperti tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang bermimpi adalah seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.
Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
Tingkah laku menurut Freud, merupakan hasil konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian adalah faktor historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu. Selanjutnya, Freud membahas pembagian pskisme manusia: id (terletak di bagian taksadar) yang merupakan reservoir pulsi dan menjadi sumber energi psikis. Ego (terletak di antara alam sadar dan taksadar) yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan superego. Superego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian taksadar) bertugas mengawas dan menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua. Berdasarkan hal di atas penulis mengkaji atas kejiwaan pada tokoh Majnun dalam novel Cinta Abadi Laila Majnun.
Psikoanalisa Majnun
Qais merupakan tokoh sentral dalam novel Cinta Abadi Laila Majnun. Qais di gambarkan sebagai tokoh protagonis, yaitu seorang anak yang cerdas, tekun, dan juga ringan tangan. Berikut kutipannya.

“Qais adalah seorang siswa yang tekun dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Hanya dalam waktu yang singkat, ia telah mengalahkan teman-teman sekelasnya dalam semua bidang pelajaran. Ia merupakan siswa terbaik yang pernah diajar oleh sang guru. Qais sangat unggul dalam hal membaca dan menulis”.  (Cinta Abadi Layla Majnun, 2012:6).


Qais juga digambarkan sebagai sosok yang rela berkorban dan memperjuangkan cintanya. Dalam cerita, pada saat Laila di pingit, Qais rela pergi dari rumah untuk mencari pengobat hatinya dan berubah menjadi ‘gila’ alias Majnun. Psikologisnya terguncang, pengarang menghadirkan alam bawah sadar Majnun sehingga ia melakukan hal-hal yang diluar kendalinya.  Berikut kutipannya,
(1)
“Tempurung kewarasan Qais telah retak dan nyaris pecah, menympahkan jiwanya yang gundah. Kendati demikian, ia telah bersikap pasrah, terbuka: emosi dan perasaannya yang terdalam telah nampak akan membuncah. Tidak hanya kehilangan Laila, ia juga kehilangan jati dirinya, kepedihan hatinya terpahat diraut wajahnya; berpijar bak nyala api yang membara, sehingga semua orang dapat melihatnya dengan nyata. Qais adalah luka yang berjalan dan berbicara. Qais adalah orang yang hilang, seakan dilupakan siapa saja. Qais telah dimusuhi takdir yang diterapkan atas dirinya”. (Cinta Abadi Layla majnun, 2012:16).




(2)
Memang Qais telah menjadi “Majnun” alias gila! Namun, ia sangat mahir dalam merangkai syair, mengubah kidung cinta. Seiring keterpisahannya dengan Laila –sebuah perpisahan yang membuatnya menjadi budak Laila- hatinya tergerak untuk memintal dan menenun benang syair-syair cinta, dan sajak-sajak indah untuk menguji kecantikan Laila, untaian syair yang sebelumnya belum pernah didengar oleh telinga manusia”. (Cinta Abadi Laila Majnun, 2012:16-17).








Berbicara tentang Majnun, sampai kapan pun saya (penulis) yakin tidak akan terlepas dari perkembangan zaman, dan pastinya tidak akan pernah terlepas dari perkembangan sastra itu sendiri. Cobalah tengok perkembangan psikologi setiap penulis dalam karyanya, atau pula tokoh dalam karyanya, mulai saja dari zaman Laila Majnun hingga Romeo Juliet sampai Cleopatra. Baca pula bagaimana suasana yang dihadirkan dalam novel tersebut karena disini penulis hanya sedikit membuka bayangan unutk membaca agar masuk kedalam gerbang karya-karya Timur dan Barat tersebut. Kedua penulis yang berbeda tanah ini tertunya memiliki gaya tersendiri dalam menciptakan karyanya sehingga terciptanya tokoh yang menjadi orator dalam cinta setiap karya. Jadi penu lis dan menulis tidak hanya butuh kata dalam mencipta karya. Melainkan setiap jiwa penulis juga membutuhkan pemahaman alam sekitar, sehingga terjadi sinergisitas antara bahasa yang dikuasai dan fenomena yang berkembang di bumi ini. Selain dari itu ada yang lebih penting lagi, yaitu dengan cara apa kita menghimpun jiwa  beberapa tokoh dari menulis?  
Freud sebagai tokoh psikoanalisa tidak memberikan penjelasan pada teori psikoanalisisnya karena penjelasan dari Freud selalu berubah-ubah. Tahun 1923, dalam sebuah jurnal di Jerman, dia menjelaskan dari pengertian psikoanalisis. Pertama digunakan untuk sebuah metode penelitian terhadap proses psikis yang tidak terjangkau secara ilmiah. Kedua psikoanalisiS juga digunakan sebagai suatu metode untuk menyembuhkan gangguan-gangguan psikis yang diakibatkan oleh pasien neurosis.
Dengan membaca Laila Majnun ini maka terbukalah ide untuk juga menciptakan Majnun-majnun yang lebih fenomenal.  Membuka alam-alam kejiwaan yang lebih supranatural.




DAFTAR BACAAN

Fanzavi, Nizami. 2012. “Cinta Abadi Laila Majnun”. Bandung: PT Ikhlas Media.
Minderop,  Albertine. 2011. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Susanto, Dwi. 2011. Pengantar Teori Sasta. Yogyakarta: CAPS.
Wellek, Rene. Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Jakarta: PT Gramedia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEKALI BERJUMPA